Habib
Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al Athas di lahirkan di kota Hajeriem,
Hadramaut pada tahun 1255 H / 1836 M. Pada masa kecilnya, beliau
mendapat didikan langsung dari ayah beliau Habib Abdulah bin Thalib Al
Athas. Setelah dirasakan cukup menimba ilmu dari ayahnya, beliau
kemudian meneruskan menuntut ilmu kepada para ulama besar yang ada di
Hadramaut. Diantara para guru beliau adalah :
Al Habib Hasan bin Ali Al Kaff
Al Habib Al Qutub Sholeh bin Abdullah Alathas
Al Habib Al Qutub Abu Bakar bin Abdullah Alathas
Al Habib Al Qutub Thahir bin Umar Al Haddad
Al Habib Al Qutub Idrus bin Umar Al habsyi
Al Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh Al Bahar
Al Habib Hasan bin Ali Al Kaff
Al Habib Al Qutub Sholeh bin Abdullah Alathas
Al Habib Al Qutub Abu Bakar bin Abdullah Alathas
Al Habib Al Qutub Thahir bin Umar Al Haddad
Al Habib Al Qutub Idrus bin Umar Al habsyi
Al Habib Ahmad bin Hasan bin Sholeh Al Bahar
Al Habib Muhammad bin Ibrahim Balfagih
Setelah ditempa oleh para ulama besar bahkan para Qutub yang ada di Hadramaut saat itu, keinginan beliau untuk menuntut ilmu seakan tak pernah luntur dan pupus. Hasrat beliau untuk menambah ilmu sedemikian hebat, sehinnga untuk itu beliau kemudian melakukan perjalanan ke kota Mekkah. Beliau banyak menjumpai ulama-ulama besar yang tinggal di kota Mekkah saat itu. Kesempatan baik ini tak beliau sia-siakan. Beliau berguru kepada mereka, diantara ulama-ulama besar yang menjadi guru beliau disana adalah :
As Sayyid Al Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan ( Mufti Mekkah saat itu )
Al Habib Abdullah bin Muhammad Al Habsyi
Asy-Syeikh Muhammad bin Said Babsail
Al Habib Salim bin Ahmad Al Athas
Beliau dengan giat dan tekun mengambil ilmu dari mereka. Sehingga tak terasa sudah 12 tahun beliau jalani untik menimba ilmu disana. Beliau terus mengembangkan keilmuannya, sehingga kapasitas beliau sebagai seorang ulama di akui oleh para ulama kota Mekkah saat itu.
Beliau kemudian dianjurkan oleh guru beliau, As Sayyid Al Allamah Ahmad bin Zaini Dahlan, untuk memulai terjun ke masyarakat, mengajarkan ilmu dan berdakwah.
Setelah selesai dan luluis menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad mendapat tugas dari gurunya untuk berdakwah menyebarkan syariat agama Islam di kota Mekah. Beliau sangat dicintai dan dihormati oleh segala lapisan masyarakat, karena Habib Ahmad berusaha meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Habib Ahmad mengajar dan berdakwah di kota Mekah selama tujuh tahun. Setelah itu beliau kembali ke kampung halamannya, Hadramaut.
Tidak lama mukim di kota kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah di Asia Tenggara. Dan pilihan beliau jatuh ke Indonesia. Karena memang pada waktu itu sedang banyak-banyaknya imigran dari Hadramaut yang datang ke Indonesia. Di samping untuk berdagang juga untuk mensyiarkan ajaran Islam.
Setibanya Habib Ahmad di Indonesia, beliau memilih tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah karena beliau melihat kondisi keagamaan yang masih sangat minim di sana. Dan saat pertama menginjakkan kakinya di Pekalongan, Habib Ahmad melaksanakan tugas sebagai imam di Masjid Wakaf di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya).
Dari Masjid Wakaf inilah Habib Ahmad memulai dakwahnya. Dari pengajian kitab-kitab fiqih, pembacaan maulid daiba’i, barzanji, pembacaan wirid, zikir dan lain sebagainya. Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alathas juga dikenal sebagai ulama hafidz (penghafal al-Qur’an). Beliau adalah seorang ulama yang selalu tampil dengan rendah hati, senang bergaul dan gemar bersilaturrahim dengan siapa saja. Habib Ahmad paling tidak senang, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan dirinya.
Kendati demikian, Habib Ahmad tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang diremehkan oleh orang lain. Beliau sangat teguh dan keras memegang syariat Islam, seperti masalah amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada zamannya dahulu, Habib Ahmad ibarat Khalifah Umar bin Khathab yang sangat tegas dan keras menentang setiap kemungkaran. Tidak peduli yang berbuat mungkar itu pejabat maupun orang awam. Menjelang akhir hayatnya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Athas mengalami patah tulang pada pangkal pahanya, akibat jatuh hingga beliau tidak sanggup berjalan. Sejak saat itu beliau mengalihkan semua kegiatan keagamaannya di kediamannya, termasuk salat berjamaah dan pengajian.
Penderitaan ini berlanjut sampai beliau dipanggil pulang ke Rahmatullah. Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Al-Athas meninggal dunia pada malam ahad 24 rajab 1347H atau tahun 1928M. Habib Ahmad meninggal dunia dalam usia 92 tahun. Walaupun beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Rajab, akan tetapi acara haulnya diperingati setiap tanggal 14 Syakban, bertepatan dengan malam nisfu Syakban.
Menengok Perjuangan Habib Ahmad bin Abdullah
From: Muhammad Lutfi
From: Muhammad Lutfi
Tiba-tiba saja
Kotamadya Pekalongan menjadi lebih semarak pada 21-23 November lalu.
Ratusan bus dan mobil dari berbagai daerah memasuki kota ‘batik’, ini
dengan membawa ribuan jamaah yang datang dari berbagai tempat di Jawa.
Belum lagi mereka yang datang dengan kereta api. Bahkan ada jamaah dari
luar Jawa yang datang dengan pesawat atau kapal laut melalui Semarang.
Akibatnya, sejumlah losmen di kota ini menjadi kewalahan hingga tidak
dapat lagi menerima para tamu, termasuk Hotel Nirwana, hotel paling
bergengsi di kota itu. Padahal, bagian terbesar dari para tamu itu
menginap di rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan tempat khaul
seorang ulama besar Pekalongan.
Membanjirnya umat Islam ke Pekalongan, yang waktunya bersamaan dengan
Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, adalah untuk menghadiri khaul atau
peringatan wafatnya ke-73 Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas.
Dari jumlah umat Islam yang datang dari berbagai tempat untuk menghadiri
khaul itu menunjukkan, bahwa sekalipun ia telah meninggal dunia hampir
tiga perempat abad lalu, tapi hingga kini kiprah perjuangannya masih
tetap dikenang. Memperingati khaul untuk mengenang seorang tokoh agama
dengan berbagai acara, di Indonesia merupakan tradisi yang banyak
dilakukan oleh warga Nahdliyin dengan berbagai acara, yang puncaknya menziarahi kubur almarhum.
Khaul ke-73 Habib Ahmad sendiri berlangsung pada hari Senin (22/11)
atau bertepatan dengan 14 Sya’ban 1420 Hijriah dengan mengadakan ziarah
ke makam almarhum. Berbagai acara yang digelar dalam rangkaian khaul ini
ialah, pada hari Ahad (21/12), diadakan pembacaan Dala’il al-Khaerat,
berisi shalawat puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu
dibawakan oleh almarhum di dalam majelis-majelisnya semasa ia hidup.
Ribuan santri dan jamaah yang berdatangan dari kodya dan kabupaten
Pekalongan serta berbagai tempat lainnya, duduk mengitari makam Habib
Ahmad di ruang khusus berukuran sekitar 10×20 meter, di pemakaman umum
Sapuro, Pekalongan. Mereka seolah-olah larut dalam kesahduan ketika
dengan suara keras menggeleng-gelengkan kepala bershalawat dan berzikir
kepada Allah SWT.
Menurut seorang penjaga makam di Sapuro, tiga hari sebelum acara
khaul telah berdatangan kaum Muslimin dan Muslimat dengan menggunakan
sembilan bus dari Purwokerto, Bogor, Sukaraja, Semarang, dan Demak.
Mereka berziarah hingga larut malam. Sebagaimana terjadi tiap tahun,
penjaga makam ini meyakini, bahwa sampai dua hari setelah acara khaul
tempat ini masih terus didatangi para penziarah.
Seperti dituturkan oleh Haji Wagio, 40, sehari sebelum acara khaul,
ia dan rombongannya datang dari Surabaya ke Pekalongan dengan 23 buah
bus patas. Tiap bus memuat 70 orang. Menurut Wagio, kunjungannya ke
Pekalongan ini dalam rangka ‘Tour Ziarah Walisongo dan Khaul Akbar’.
Mengingat para jamaah bukan saja dari Surabaya, tapi juga dari berbagai
tempat di Jatim, menurut Wagio, ini menunjukkan bahwa Habib Ahmad
dikenal cukup luas di Jawa Timur.
Rombongan yang berjumlah hampir 1.500 orang ini, bermalam di sekitar
rumah-rumah penduduk yang dengan sukarela menyediakan tempat untuk
mereka. Sedangkan untuk makam dan minum, disediakan oleh tuan rumah,
yang dipimpin oleh Habib Abdullah Bagir Alatas, cicit almarhum. Rumah
almarhum sendiri, yang terletak di Jalan Haji Agus Salim 29, Pekalongan
yang bagian depannya menjadi Masjid Raudah dan tempat kegiatan
keagamaan, juga menampung ratusan para jamaah dari luar kota. Habib
Bagir sendiri merupakan generasi keempat penerus Habib Ahmad, setelah
ayahnya Habib Ahmad bin Ali Alatas, meninggal dunia hari Ahad (19/12),
seminggu sebelum acara khaul.
Sehari menjelang khaul, pada malam harinya di Masjid Raudah diselenggarakan acara khatam shahih Bukhari,
salah satu mata pelajaran keagamaan yang diberikan kepada
murid-muridnya selama almarhum hidup. Imam Bukhari, yang lahir di
Bukhara, Asia Tengah (dulu bagian dari Uni Soviet), pada 194 H, selama
16 tahun telah mengumpulkan ratusan ribu hadits. Kemudian ia menyaring
hadits itu dan hanya beberapa ribu saja yang dinilainya dapat dipercaya.
Ketelitiannya dalam periwayatan hadits, menyebabkan para ulama hadits
belakangan menempatkan kitab Sahih al-Bukhari sebagai peringkat pertama dalam urutan kitab-kitab hadits yang muktabar.
Amar ma’ruf nahi munkar
Pada puncak acara khaul, yang berlangsung Senin (22/11), dibacakan manakib
atau riwayat hidup Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas. Ia
dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada 1255 Hijriah atau 1836
Masehi. Setelah menguasai Alquran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama,
ia melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal
lainnya.
Kemudian, ia menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Mekkah dan
Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama terkenal
di kedua Kota Suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar
pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi Habib Ahmad, adalah Assayid
Ahmad Zaini Dahlan. Yang belakangan ini, adalah seorang pakar ulama di
Mekkah yang memiliki banyak murid dan santrinya. Baik dari Mekah sendiri
maupun negara-negara Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kiai
dari Indonesia, seperti Hadrotul Fadhil Mbah KH Kholil Bangkalan,
Madura, dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, Jombang, Jatim, pendiri
NU dan kakek dari Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping KH Murtadha,
tokoh ulama Betawi akhir abad ke-19.
Di antara murid atau orang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Mekkah
adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukiman Indonesia di Arab
Saudi, pengarang kitab-kitab kuning. Di antaranya Tafsir Munir, yang bukan saja dijadikan acuan oleh ahli tafsir di Indonesia, tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama
latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya itu
ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Mekkah. Di kota kelahiran
Nabi ini, ia dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat, karena
berusaha meneladani kehidupan Rasulullah.
Setelah tujuh tahun mengajar di Mekkah, ia kemudian kembali ke
Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, Habib
Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu,
sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di
samping untuk berdagang juga menyebarkan agama.
Setibanya di Indonesia, ia kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan
kota itu yang dinilainya masih membutuhkan dukungan pensyiaran Islam,
maka tergeraklah hatinya untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama
menginjakkan kakinya di kota ini, ia melaksanakan tugas sebagai imam
Masjid Wakaf yang terletak di Kampung Arab (kini Jl Surabaya). Kemudian
ia membangun dan memperluas masjid tersebut.
Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad mengajar membaca
Alquran dan kitab-kitab Islami, serta memakmurkan masjid dengan bacaan Daiba’i, Barjanzi, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Ia juga dikenal sebagai hafidz (penghapal Alquran).
Melihat suasana pendidikan agama waktu itu yang sangat sederhana,
maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah, yang
letaknya berseberangan dengan Masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan
Madrasah Salafiyah waktu itu, hingga banyak menghasilkan ulama-ulama.
Madrasah ini, yang didirikan lebih sekitar satu abad lalu, menurut Habib
Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern, yang
kemudian berkembang di kota-kota lain.
Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan
ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, habib ini selalu
tampil dengan rendah hati (tawadhu), suka bergaul, dan marah bila dikultuskan.
Kendati demikian, kata cicitnya Habib Abdullah Bagir, ”Beliau tidak
dapat mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah atau melihat orang yang
meremehkan soal agama.” Seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut Bagir, kakeknya ibarat Khalifah Umar bin Khatab, yang
tegas-tegas menentang setiap melihat kemungkaran. Tidak peduli yang
melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi.
Sebagai contoh disebutkan, para wanita, tidak akan berani lalu lalang
di depan kediamannya tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Tidak
peduli wanita Muslim, maupun wanita Cina dan Belanda, menggunakan tutup
kepala bila lewat di tempat kediamannya. Pernah seorang isteri residen
Pekalongan, dimarahi karena berpapasan dengannya tanpa menggunakan tutup
kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini
sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan,
setiap perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai
perempatan selatan sampai perempatan utara Jl KH Agus Salim, tidak
dibunyikan karena akan melewati rumahnya. Ia juga sangat keras terhadap
perjudian dan perzinahan, sehingga hampir tidak ada yang berani
melakukannya di kota ini, saat beliau masih hidup.
Keberaniannya dalam menindak yang munkar itu, rupanya
diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. ”Saya heran dengan
Ahmad bin Thalib Alatas yang dapat menjalankan syariat Islam di negeri
asing, negeri jajahan lagi,” kata Habib Ahmad bin Hasan Alatas, seorang
ulama dari Hadramaut.
Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf,
Jl Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal
pahanya, akibat jatuh, hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu ia
mengalihkan kegiatannya di kediamannya, termasuk shalat berjamaah dan
pengajian.
Penderitaan ini berlanjut hingga meninggalnya pada malam Ahad, 24
Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun, dan dimakamkan di
pekuburan Sapuro, Kodya Pekalongan. Namun peringatan khaulnya
diselenggarakan setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nifsu
Syaban, yang tiap tahun dihadiri ribuan orang, tidak jarang dari luar
negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Ketika ia meninggal dunia, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan
dan sekitarnya mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan
terakhir. ”Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah
seperti ketika wafatnya Habib Ahmad,” kata Habib Alwi Alatas, 70, salah
seorang kerabatnya.
Karena itulah, setiap khaulnya selalu dihadiri oleh ulama terkemuka,
termasuk almarhum KH Abdullah Syafe’i, dan kini putranya KH Abdul Rasyid
AS, serta KH Abdurrahman Nawi, dari Jakarta.
(AS, Republika 25 Nov 99)
loading...
izin share
BalasHapus